Muddai Maddang Diminta Dijadikan Tersangka Korupsi KOI

1457







JAKARTA - Direktur Krimsus Polda Metro Jaya diminta agar menjadikan Wakil Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Muddai Maddang tersangka pada korupsi anggaran sosialisasi Asian Games Tahun Anggaran 2015. Pasalnya, Muddai dianggap yang paling banyak menandatangani pencairan anggaran Rp 61 miliar itu.

“Majelis yang mulia, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), saksi ini (Muddai Maddang-red) disebutkan secara bersama-masa dengan Dody Iswandi, Anjas Rivai dan Iwan Irmansyah melakukan korupsi. Dan sesuai dengan fakta persidangan, saksi ini yang bertanggungjawab terhadap pembukaan cek untuk pembayaran-pembayaran. Jadi kami minta supaya saksi ini dikonfrontir dengan saksi lain. Menurut kami saksi ini banyak bohongnya. Seharusnya dia juga harus menjadi terdakwa di persidangan ini,” kata Alamsyah Hanafiah, SH selaku Penasehat hukum terdakwa, di Pengadilan TIPIKOR, Jakarta Pusat, Senin (28/8).

JPU Indra Kusmadi, Mia Banulita dan Reza dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menhadirkan empat saksi masing- masing Muddai Maddang (Waketum KOI), Herman (anggota monitoring), Edy (Anggota monitoring) dan Nurcolis (Anggota monitoring) untuk didengarkan keterangannya terhadap perkara tedakwa Dody Iswandi (Sekjen Koi), Anjas Rivai (Bendahara Umum KOI), dan Iwan Agus Salim (Pendor), dihadapan Ketua Majelis Hakim yang dipimpin Diah Siti Basariah, SH, Ibnu Basuki Widodo, M. Agus Salim didampingi PP Martin Turnip danTatty Doresly, SH.

Selaku Wakil Ketua Umum (Ketum) Komite Olah Raga Indonesia(KOI) Muddai Maddang didelegasikan Ketua Umum (Ketum) Erick Tohir untuk menandatangni Cek diatas duaratus juta rupiah. Di persidangan Muddai mengakui menandatangani cek-Cek untuk pembayaran anggaran sosialisasi kepada pendor di enam kota, yakni Surabaya, Pontianak, Makassar, Banten, Palembang, Medan. Masing-masing wilayah senilai Rp 4,5 miliar.

“Sesuai SOP (Standart Operasional Prosedure) untuk pencairan cek ditandatangani Ketua, saya, Sekjen dan Bendum. Yang bisa ditandatangani Sekjen dan Bendum adalah cek yang bernilai Rp 200 juta kebawah. Sementara untuk Rp 200 juta ke atas harus ditandatangani Ketum atau saya,” ucap Munddai menjelaskan tupoksinya kepada Majelis hakim.

Ketika majelis bertanya untuk apa cek-cek yang ditandatangani itu, saksi Muddai menjawab; “Tidak Tahu”.

Dari pantauan limitnews.net, 90 persen pertanyaan Majelis Hakim, JPU dan Penasehat Hukum terdakwa dan maupun pertanyaan terdakwa dijawaban, tidak tahu.

“Jadi apa yang anda tahu dalam pelaksanaan sosialisasi ini? Apakah mungkin Anda selaku Wakil Ketua menadatangani cek tanpa anda mengetahui tujuannya?” tanya majelis, yang dijawab; “Semua atas permintaan saudara Sekjen. Jadi yang bertanggungjawab adalah Sekjen sebagai PPK,” jawab Muddai.

Atas jawaban tidak tahu dari saksi Muddai itu, Ketua Majelis hakim Diah Siti Basariah membuat sebuah ilustrasi pertanggungjawaban seorang pimpinan.

“Di kantor ini (Pengadilan-red), ada OB (office Boy) yang bertanggungjawab untuk kebersihan kantor, tetapi jika kantor ini terlihat kotor maka Ketua Pengadilan atau Wakil Ketua akan bertanya kepada bagian umum yang mebawahi kebersihan. Mengapa ruangan ini kotor? Atau langsung kepada OBnya. Jadi tidak mungkin kita biarkan begitu saja. Itulah sebuah tanggungjawab sebagai pimpinan,” ucap majelis.

“Ya, yang mulia. Saya sudah tidak sependapat dengan saudara Sekjen dan Bendum dalam pelaksanaan sosialisasi itu. Karena menurut saya tidak mungkin lagi melakukan penyerapan anggaran dengan waktu yang singkat. Dari semula anggaran keluara, saya sudah bilang supaya anggaran di kembalikan. Itulah makanya setiap penandatangan Cek, saya minta jaminan dari saudara Sekjen. Baru kemudian saya keluarkan cek. Begitu yang mulia,” jawab saksi Muddai.

Namun pernyataan saksi Muddai itu dibantah terdakwa Dody Iswandi. Bahkan menurut Dody, Mundailah yang lebih bersengat untuk melaksanakannya.

Kepada Saksi, Dody juga bertanya terkait penunjukkan pendor di 6 kota: yang dijawab saksi tidak pernah mengetahu apalagi menyetujui. Padahal, menurut terdakwa bahwa ada nama yang rekomendasi saksi.

Bahkan Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum telah membagikan 11 unit mobil Mitsubishi Pajero sebagai kendaraan operasional. Atas pembagian unit mobil itu Sekjen dan Bedum tidak mau menerima. Terhadap unit mobil itu, Muddai mengatakan bahwa untuk pembelian mobil itu adalah patungan antara Ketua Umum dengan Wakil Ketua.

“Majelis yang mulia, untuk pembelian mobil operasional adalah dana talangan pribadi saya dengan ketua sebesar Rp.2 miliar untuk DP. Dari pak Ketua 2/3 dan dari saya 1/3. Mengapa kami tidak meberikan mobil kepada Sekjen dan Bendum, alasannya, karena secara ekonomi mereka berdua sudah mapan, jadi tidak kami subsidi,” ucap Maddai.

Ada 27 miliar yang dicairkan melalui cek, meskipun pengeluaran tidak sekaligus. Untuk pencairan dana itu menurut Mundai Muddang selalu dikonfirmasi kepada inspektorat dan Biro Hukum Kemenpora.

“Saya selalu tanya kepada inspektorat dan Biro Hukum. Apakah ini sudah sesuai dengan penyerapan? Yang dijawab, sudah. Jadi ceknya saya tandatangani,” jawab Muddai.

Ketika majelis bertanya status saksi di INASKO yang dijawab saksi tidak tahu. “Saya tidak tahu majelis. Sekjen yang mencantumkan nama saya disitu. Jadi saya tidak pernah diberi tahu apa fungsi saya di INASKO itu,” ucap Muddai lagi.

Pada bulan Januari ada penandatanganan cek Rp 6 miliar. Kepada siapa itu? Tanya Alamsyah. Yang dijawab saksi itu adalah pinjaman. “Ada pendor yang mita pinjaman. Katanya sudah bekerja tapi belum dibayar. Jadi itu pinjaman,” katanya.

Kemudian Alamsyah bertanya. Apa dasar hukumnya saksi meminjamkan uang negara? Yang dijawab; adalah tanggungjawab Sekjen.

Ada pembayaran Rp 6 miliar, ada pembayaran Rp 9,3 miliar ada pembayaran Rp 1,7 miliar proposal pengajuan Rp 11 miliar semua tidak diketahui saksi Muddai. Ada rapat dengan Kemenpora kata Mundai atas suruhan Sekjen.

Kemudian pemeriksaan tiga saksi sekaligus. Saksi Herman, saksi Edy dan Nurcolis. Saksi Herman menjelaskan bahwa dia melakukan monitoring di kota Makassar. Tanggal 27 dia sampai Ke kota Makassar dan melihat kegiatan baru 50 persen. Lalu dia membuat dokumen video, dan temannya mebuat dokumen foto.

Sementara saksi Edy dan Nucolis yang melakukan monitoring ke kota Surabaya tanggal 29 Desember. Dan pelaksana disana Samsul Arifin. Saat itu Samsul Arifin marah dan mengancam panitia tidak boleh datang kelokasi jika tidak bawa uang. Atas ancaman itu, saksi Nurcolis dan Edy kembali ke Jakarta untuk mengambil uang. Kemudian saksi Edy dan Nurkolis kembali ke Surabaya bersama dengan Indra Bayu (keuangan KOI).

Di Surabaya panitia monitoring menginap di lantai 18 Hotel Best Western Pavilion. Dan Nurcolis mengangkut kaos-kaos promosi yang bergambar logo Asean Games. Dan Eddy mengatakan Indra bayu keuangan KOI membawa uang dalam koper untuk Cinta Intertaimen sebagai IO (Iven Organitation). Tanggal 1 Januari 2016 tim monitoring kembali ke Jakarta. Lalu akhir bulan Januari membuat laporan. (TOM)

Category: Jakarta
author
No Response

Comments are closed.