
Jalannya persidangan di PN Jakarta Utara. Foto Tomson
JAKARTA - Saksi Lim Joon Hyeong Direktur PT DCG Indonesia mengatakan bahwa pada saat Rapat Umum Pemegang Saham-Luar Biasa (RUPS-LB) PT DCG Indonesia diadakan pada September 2015 menerima laporan keuangan, dan tidak ada membahas uang Rp 35 juta.
Hal itu dikatakan Lim Joon Hyeong menjawab pertanyaan Anggota Majelis Hakim Ramses Pasaribu SH MH pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Senin (13/5/2019).
"Ya, yang mulia, waktu diadakan RUPS-LB pada bulan September 2015 laporan keuangan diterima peserta RUPS-LB. Saya pun tidak tahu kalau ada uang Rp.35 juta direkeningnya Pak Haryo Bimo. Saya tahu ada kontrak penyewaan alat berat dari PT. Herwin Perdana untuk mobilisasi 4 unit alat berat. Yang saya tahu tidak ada masalah dalam kontrak itu," ujarnya.
Apakah saksi Lim selaku direktur di PT. DCG Indonesia di gaji? Tanya hakim, yang dijawab, Ya. Kemudian ditambahkan, dan mengatakan: Secara tertulis gajinya 5000 dolar, tetapi faktanya tidak demikian, katanya.
Bagaimana faktanya? Tanya hakim, yang dijawab: "Perusahaan itu tidak sehat. Selama itu saya cuman dua kali terima gaji. Atas dasar itulah saya mengundurkan diri dari perusahaan," katanya.
Apakah terdakwa selaku salah satu direktur juga digaji? Yang dijawab: sebetulnya digaji, tapi saya ga tahu apakah dia terima gaji, ucap Lim Joon Hyeong menjawab pertanyaan hakim dan menjelaskan kondisi perusahaan saat itu.
Penasehat hukum terdakwa John Piter Simanjuntak SH sebelumnya juga sudah mempertanyakan kebenaran adanya kontrak penyewaan alat berat oleh PT. Harwin Perdana. Saksi Lim Joon Hyeong mengaku dihubungi oleh PT. Herwin Perdana melalui Maya Purwanti karena saksi Lim Joon Hyeong saat itu sedang berada di Korea Selatan.
Dan memalui hubungan telepon itu disepakati uang ditransfer kerekening pribadi Direktur Haryo Bimo Arianto agar dapat dipergunakan untuk operasional mobilisasi alat berat yang dibutuhkan PT. Harwin Perdana.
"Saya tidak tahu kalau terdakwa ini merugikan perusahaan. Yang saya tahu justru terdakwalah yang berkorban untuk perusahaan. Itu dakwaan jaksa terbalik. Saya saja mengundurkan diri," ucap Lim Joon Hyeong saat media dikonfirmasi usai persidangan.
Dia menambahkan bahwa Mr. Roh Jae Chung (Pelapor) itu jarang di Indonesia. "Saya bergabung dan menjabat sebagai salah satu direktur bersama saudara Haryo Bimo Arianto itu sejak diadakannya RUPS-LB tanggal 22 Nopember 2014, yang dituangkan dalam Akta no.09 tanggal 18 Desember 2014 di hadapan Notaris Yulida Desmatiny SH," ujar Lim Joon mengakhiri ceritanya.
Sementara JPU Abdul Rauf mendakwa terdakwa Haryo Bimo Arianto Pasal 263 KUHP berdasarkan Akta 02 hasil RUPS-LB tgl 28 Februari 2014, yang merupakan Pasal dakwaan ke satu. Terdakwa saat RUPS-LB belum ada di PT. DCG Indonesia.
Kemudian pada dakwaan kedua melanggar Pasal 374 KUHP melakukan penyalahgunaan jabatan selaku Direktur menggelapkan uang perusahaan Rp.35 juta. Padahal dalam surat dakwaannya itu JPU jelas menyebutkan uang Rp.35 juta itu disetorkan ke peti kas PT. DCG Indonesia.
Tercatat, terdakwa Haryo Bimo Arianto sebagai Direktur PT. DCG Indonesia digaji Rp.30 juta perbulan. Faktanya, selama menjadi Direktur tidak pernah menerima gaji. Bahkan untuk operasional kantor harus mengeluarkan uang pribadi.
Degradasi Hukum
Sementara itu, Sekjen LSM-ALPPA (Aliansi Pemerhati Pengguna Anggaran) Rusdin Ismail SH, MH yang juga praktisi hukum itu mengatakan telah terjadi degradasi hukum.
"Ironis memang melihat realitas yang terjadi sekarang. Hukum di negeri ini masih tunduk dengan uang dari pada keadilan. Sebagai negara yang berlandaskan hukum, hukum yang semestinya sebagai panglima tertinggi dalam penyelenggaraan kenegaraan, namun hukum telah terdegradasi sebagai anak asuh yang mampu didinabobokkan oleh pengaruh politik. Karenanya wajar reformasi hukum belum mampu menjawab problematika bangsa yang sangat krusial dan pada akhirnya tuntutan reformasi hukum di awal era reformasi dengan mengorbankan darah masih sekadar tuntutan karena pada realitasnya budaya penegakan hukum masih setengah hati dilaksanakan," ucapnya.
Kemudian dia me jelaskan, keadaan ini tentu membuat publik tersadar bahwa hukum tidak mampu lagi menjamin terwujudnya keadilan. Hukum berkutat di wilayah kepastian hukum sehingga hukum tidak lagi bekerja untuk manusia. Hukum seolah-olah sudah menjadi komoditas dan tidak bekerja untuk sesuatu yang lebih luas.
“Institusi hukum tidak lagi berpihak pada kehendak rakyat. Masyarakat pun dihadapkan pada kenyataan, bahwa uang bisa menjadi panglima. Dengan uang, apa pun bisa dibeli, termasuk moralitas, loyalitas dan kredibilitas jabatan. Istitusi hukum telah meminggirkan kebenaran dan keadilan,” katanya.
"Rapuhnya hukum di Indonesia saat ini tentu tak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan menjadi bom waktu bencana bagi panggung penegakan hukum itu sendiri. Cara untuk menguatkan hukum di Indonesia yang semakin rapuh ini adalah "menutrisi" hukum dan semua komponen terkait dengan hal-hal positif yang bisa memulihkan serta membawanya ke jalan yang benar. Hal-hal itu bisa dimulai dengan meningkatkan kesadaran hukum aparat serta masyarakat guna menegakkan hukum dan moral dengan baik. Selain itu, penting membentangkan pandangan kritis sekaligus progresif terhadap hukum dalam realitas Indonesia," tegas Rusdin Ismail SH, MH. (Olo)