
JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ireine K. Relanita, SH, dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara menghadirkan tiga saksi untuk didengarkan keterangannya untuk terdakwa Sugyanto (Nahkoda) yang dijerat dengan Pasal 93, Jo Pasal 100 UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan Jo UU-RI No.45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU RI No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, di Pengadilan Negeri (PN) Perikanan, Jakarta Utara, Jl. Gajah Mada, Jakarta Pusat, Senin (10/7).
Terdakwa Sugyanto sebagai Nahkota KM Sentosa I mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan Indonesia (SIPI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), diancam dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00, Pasal 100 Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 250.000.000,00
Dihadapan Ketua Majelis hakim Ramses Pasaribu, SH, saksi Sumarno (pemilik kapal) mengatakan, pemerintah tidak berpihak kepada nelayan. Sumarno memilik 24 kapal ikan sudah melakukan verifikasi dari perseorangan kepada PT (Perusahaan Terbatas), tetapi surat surat ukur belum juga diterbitkan Kementerian Perhubungan padahal verifikasi sudah lebih dari satu tahun. Akibat tidak adanya surat tersebut maka kapal ikannya tidak dapat beroperasi. Sehingga ratusan ABK (anak buah kapal) menjadi pengangguran.
“Pak Hakim, pemerintah sudah tidak perduli terhadap masa depan nelayan. Kapal ikan kami sudah menganggur selama satu tahun. Ratusan ABK tidak ada mata pencaharian, sementara hidup terus berjalan, anak-anak terlantar. Pak Hakim saya sudah puluhan tahun jadi nelayan, jadi kami ini harus bagaimana? Tolonglah kami pak hakim,” kata Sumarno dengan suara parau karena nenahan air matanya menetes menceritakan betapa memirihatinkan kehidupan nelayan.
Sumarno menambahkan, para nelayan sudah mematuhi peraturan. Tetapi, sampai saat ini katanya dari pihak pemerintah (Syahbandar) Kemeterian Perhubungan tidak konsekuen menerbitkan surat surat kapal setelah melakukan verifikasi admintrasi.
Sumarno sebagai pengusaha kapal yang berasal dari buruh nelayan menjadi pengusaha kapal dapat merasakan penderitaan para ABK ketika tidak melaut.
“Dari mana pak biaya untuk menghidupi ABK? Kemampuan kita hanya dapat meminjamkan untuk biaya 1-2 bulan, selebihnya kita sudah angkat tangan,” ujar Sumarno dipersidangan mengungkapkan penderitaan ABK saat ini, dampak dari pemerintah tidak menerbikkan surat surat kapal sehingga kapal tidak dapat melaut.
Menurut Sumarno, ditangkapnya KM Sentosa I 6 Februari 2017, dengan tuduhan SIPI tidak sesuai dengan tonase kapal. Terjadinya ketidak sesuaian tersebut setelah adanya verifikasi/penyesuaian adminstrasi kapal dari kepemilikan perseorangan ke berbadan hukum PT. Namun setelah adanya verifikasi penyesuaian tersebut, suarat ukur yang menjadi patokan pembayaran Pajak Hasil Perikanan (PHB), tidak diterbitkan pemerintah Syanbandar (Kemneterian Perhubungan).
Terkait proses penangkapan, Sumarno tidak banyak tahu. Menurutnya, bahwa KM Santoso I beroperasi tanpa sepengetahuannya. Tindakan itu adalah inisiatif nahkoda sendiri untuk menghidupi keluarga dan ABK.
Sementara yang dipersoalkan JPU dalam perkara ini adalah SIPI yang tidak seuai dengan bobot kapal, yang membuat batas zona penangkapan ikan. KM Sentosa I telah melakukan penagkapan ikan dilaut lepas, jadi tidak sesuai dengan SIPI yang dimilik, dimana wilayah operasional penagkapan ikan KM Sentosa I diperairan zona Indonesia.
Tetapi Menurut keterangan saksi Ripan (ABK) bahwa KM Sentosa I yang terbuat dari bahan kayu ini berlayar dengan 34 ABK orang, dan memasang RUMPUN pada kordinat 11, 53 lintamg Selatan, 111,53 Lintamg timur yang masih zona wilayah tangkap sesuai dengan SIPI.
Rapi, ABK yang bertugas sebagai yang mengatur perbekalan di kapal berungkali ditanya majelis tentang pengertiannya melihat kompas (GPS).
“Apakah saudara faham dalam hal melihat atau mengatahui posisi kapal,” tanya Ramses. Yang dijawab saksi, “Saya tahu karena di GPS tertulis kordinat kapal. Dan pada saat itu tertulis kordinat 11 Lintang Selatan dan 111,53 Lintang Timur.”
Oleh karena itu majelis memerintahkan JPU menghadirkan saksi ahli agar dapat melihat GPS. “Saudara jaksa, hadirkan saksi ahli agar dapat melihat kordinat pada saat penangkapan. Saksi tidak mengakui dan menyangkal tanda tangannya yang membukti bahwa pada koordinat 10 linatang selatan dan 110 lintang timur yang ada keteranganya pada BAP,” perintah hakim.
Sementara terdakwa Sugyanto (nahkoda) mengatakan, GPS sudah tidak dapat dibaca lagi setelah batere dicopot dari GPS. “Begitu baterei dicabut maka segala data akan hilang,” katanya. (TOM)
