Ketua Gapoktan Tunas Sakti Pertanyakan SK Tahun 2018 Baru Diterima Masyarakat Tahun 2021







Kuasa hukum Kelompok Tani Hutan (celana hitam, berdiri) saat mempertanyakan urgensi kehadiran oknum anggota Brimob Polda Sumut (memakai topi) di lokasi hutan negara diduga berpihak kepada pengusaha Alianto Widjaja. Limitnews/Istimewa

10/13/2022 12:01:54

LANGKAT – Kelompok Tani Hutan Negara melalui Ketua Gapoktan Tunas Sakti, Heri Yadi mempertanyakan SK Tahun 2018 tapi masyarakat baru menerima SK Tahun 2021. Ia juga mempertegas, bahwa mediasi tidak dilakukan sebelum anggota Kelompok Tani Hutan Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, ditangkap.

“Alianto Widjaja tau semua tahapan kegiatan di lapangan, Kapolsek, Kasat Intel, Kepala UPT KPH Wilayah 1 Langkat, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi sudah mencoba mediasi, sampai undangan BPSKL di Hotel Medan yang 35 %, dan tidak ada respon baik Alianto Widjaja,” kata Heri Yadi kepada limitnews.net, Rabu (12/10/2022) malam.

Heri Yadi menyesalkan, saat sebagian anggota Poktan ditangkap, ada yang sudah divonis 2 tahun 6 bulan. Mengapa aparatur negara tidak mengutamakan pembelaan kepada Kelompok Tani terlebih dahulu, sesuai SK mendapat perlindungan hukum.

“Dimana bentuk pembelaan ke Kelompok Tani (Masyarakat-red) sesuai SK. Aparatur negara lebih mengutamakan Alianto Widjaja dari pada kelompok pemegang izin IUPHKM,” Sesal Heri Yadi.

BERITA TERKAIT: Aneh, Dishut Sumut Undang Kelompok Tani Hutan Mendekam di Penjara

Heri Yadi bahkan mempertanyakan, di dalam lokasi hutan produksi negara dan ada Kelompok Tani Hutan yang memiliki Izin UPHKM dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bisakah anggota Kelompok Tani Hutan dijadikan terpidana dengan vonis 2 tahun 6 bukan atas dasar pelanggaran pasal 363 oleh Alianto widjaja?

“Apa dasar Alianto Widjaja membuat laporan? Di perkara yang di sidangkan, Alianto Widjaja menggunakan surat tanah 6 ha di Notaris yang lokasinya di luar Izin IUPHKM. Kenapa perkara dilanjutkan?,” Heri Yadi mempertanyakan.

Heri Yadi mengungkapkan, dalam perkara, keterangan 7 orang, mereka dianiaya, berkas BAP ditanda tangani tanpa tahu isi BAP, tidak membaca dan tidak dibacakan. Dari 7 orang diantaranya 4 orang memang anggota Kelompok Tani yang menjaga tanaman mangrove, tangkap, borgol, pukul, bawa, tekanan, terdakwa, tersangka, hingga vonis.

“Dari semua keterangan di atas jelas bisa kita lihat, ada apa tanggal 22 Oktober 2022. Undang-Undang negara kalah dengan egois dan kepintaran. Aparatur negara menyikapi ini dari saat konflik, dan sebelah pihak. Dan tidak berdasarkan Undang-Undang negara tentang kehutanan,” ungkap Heri Yadi.

BERITA TERKAIT: ‘Abuse of Power’ Hingga ‘Kriminalisasi’ Derita Masyarakat Kelompok Tani Hutan di Langkat

Heri Yadi menjelaskan, bahwa Kelompok Tani Hutan 20 persen masyarakat susah, memiliki izin IUPHKM, program negara, sesuai Undang-Undang dan asli masyarakat Indonesia yaitu pribumi.

Dibandingkan, Alianto Widjaja 80 persen pengusaha, menguasai sudah 10 tahun-an, luasan 365 Hektar tanpa izin apapun, tanpa membayar pajak penghasilan, alih fungsi hutan Negara, jual beli hutan Negara, melanggar Undang-Undang Negara Republik Indonesia, mengkriminalisasi masyarakat, mengkondisikan hukum, menindas masyarakat, menyengsarakan masyarakat, tidak mengindahkan program Negara Republik Indonesia.

“Kondisi ini yang terjadi sekarang. Bagaimana bisa kita lakukan mediasi perdamaian? Seharusnya, aparatur negara mengeluarkan anggota yang dipenjarakan oleh Alianto Widjaja, aparatur negara tidak membiarkan hutan negara digarap Alianto Widjaja, aparatur negara melihat semua fakta sebenarnya, aparatur negara melihat, mendengar dan menjalankan fungsi sesuai Undang-Undang, dan program Negara, aparatur negara tidak membuat undangan pertemuan dalam situasi saat ini karena anggota Kelompok Tani dipenjara dan sebagian ketakutan akibat penangkapan dan Sat Brimob di lokasi hutan produksi negara atas perintah Alianto Widjaja, dan seharusnya aparatur negara memproses Alianto Widjaja sesuai hukum karena telah menggarap hutan negara tanpa izin,” tandas Heri Yadi.

BERITA TERKAIT: Terungkap di PN Langkat, 7 Saksi Mengaku Mendapat Tekanan dan Dianiaya Penyidik

Dinas Kehutanan Bantah Heri Yadi

Sehubungan dengan berita dengan judul “Aneh, Dishut Sumut Undang Kelompok Tani Hutan Mendekam di Penjara” pada berita online Limitnews, Dinas Kehutanan Provinsi Sumut menyampaikan hal-hal sebagi berikut:  

Atas pernyataan Heriyadi Selaku Ketua Gapoktan Tunas Sakti yang menyatakan bahwa “Kenapa setelah ditangkap dan anggota berserakan, baru diadakan rapat”, dapat disampaikan:

“Bahwa Undangan rapat ini bukan yang pertama kali diadakan dalam rangka Fasilitasi Tindak Lanjut Penanganan Konflik Tenurial Program Perhutanan Sosial pada 5 (Lima) kelompok Tani Hutan di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara,” tulis Dinas Kehutanan melalui Pers Release, Rabu (12/10/2022).

“Telah diadakan beberapa kali rapat yaitu pada tanggal 6 Juni 2022, 10 Agustus 2022 dan 16 Agustus 2022. Diketahui bahwa pada pertemuan pertama masih diikuti oleh Perwakilan dari masing-masing 5 (Lima) Kelompok Tani Hutan termasuk Sdr Heri Yadi (selaku Ketua Kelompok Tani Sabar Subur). Di pertemuan kedua tidak dihadiri oleh perwakilan Kelompok Tani, dan pada pertemuan ketiga turut dihadiri oleh perwakilan dari Kuasa Hukum Kelompok Tani Hutan,”.

“Dalam pertemuan ketiga diketahui akan ada pembahasan informal antara kuasa hukum 5 (lima) KTH dengan Kuasa Hukum Sdr Alianto. Salah satu kesepakatan pada pertemuan ketiga tersebut adalah pembahasan poin-poin Surat Perjanjian Perdamaian yang akan dilaksanakan di luar rapat oleh kedua belah pihak,” terang release Dishut.

BERITA TERKAIT: Pengusaha Alianto Widjaja Diduga Peralat Brimob Kuasai Lahan Hutan Negara di Langkat

“Tidak benar pernyataan Sdr Heri Yadi yang disampaikan melalui media, bahwa rapat ini diadakan setelah Kelompok Tani Hutan mendekam di penjara baru diadakan rapat. Bahwa Persetujuan Perhutanan Sosial tidak diberikan kepada Ketua Kelompok/Ketua Gapoktan, tetapi diberikan kepada Kelompok/KTH sehingga dalam kegiatannya tidak bergantung kepada satu atau dua orang pengurus saja,” jelasnya .

Dishut menerangkan, dalam hal ini Persetujuan Perhutanan Sosial dapat kami sampaikan bahwa pemberian Persetujuan Perhutanan Sosial diberikan masing-masing dari 5 (Lima) Kelompok Tani Hutan bukan kepada  Gapoktan Tunas Sakti.

“Sebelum ditetapkan Persetujuan Perhutanan Sosialnya  yang dituangkan dalam Berita Acara dan  setelah ditetapkan Persetujuannya, diketahui sudah terdapat potensi konflik sehingga telah dianjurkan  kepada pihak pemohon Persetujuan PS untuk melakukan komunikasi kepada pemilik kebun sawit guna mendapatkan kesepakatan sesuai dengan peraturan perundangan,”.  

“Dinas Kehutanan Provinsi dan Kementerian LHK sebagai salah satu perwakilan Negara bertanggung jawab secara moral untuk hadir sebagai simpul negosiasi para pihak dalam mencapai kesepakatan yang win-win solution terhadap konflik lahan dalam kawasan hutan sesuai peraturan yang berlaku. Namun apabila salah satu pihak tetap bertahan dengan keinginannya dipersilahkan untuk tetap menempuh jalur litigasi,” kata Dinas Kehutanan Provinsi Sumut mengakhiri.

 

 

Penulis: Olo Siahaan

Category: NASIONALTags:
author
No Response

Comments are closed.